![]() |
Drama Rapat Mediasi: Wartawan Dilarang Rekam, Apa yang Ditutup-Tutupi |
Melawi, DETIKREPUBLIK.COM – Sebuah peristiwa ganjil terjadi di Kantor Camat Pinoh Utara, Rabu (12/3/25) pagi.
Rapat mediasi yang seharusnya menjadi ajang klarifikasi atas dugaan korupsi Dana Desa malah berubah menjadi forum tertutup yang tidak boleh diabadikan media. PLT Camat Pinoh Utara, Mambang Gusmadi, S.Sos, tiba-tiba mengusir wartawan yang tengah meliput jalannya rapat. Tak hanya itu, ia bahkan meminta bantuan Babinsa untuk memastikan tidak ada jurnalis yang merekam kejadian tersebut.
Kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa seorang pejabat publik melarang pers meliput pertemuan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat? Jika tidak ada yang perlu disembunyikan, bukankah seharusnya transparansi menjadi prioritas? Atau justru ada hal penting yang ingin dikunci rapat-rapat dari sorotan publik.
Rapat ini sendiri dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk BPD, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, yang bertugas memediasi dugaan korupsi yang menyeret nama Kepala Desa Tanjung Paoh, Sukisman alias Totoi. Sayangnya, sebelum para wartawan bisa mendokumentasikan jalannya diskusi, larangan keras dari camat menghentikan segalanya. Apakah ini murni ketidaktahuan tentang kebebasan pers, atau ada kepentingan yang lebih besar yang sedang dijaga.
Tak butuh waktu lama, larangan ini menuai reaksi keras dari insan pers. Roni, seorang wartawan yang berada di lokasi, menyebut tindakan camat sebagai bentuk pembungkaman informasi. Ia mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 18 ayat (1), siapa pun yang sengaja menghalangi kerja wartawan dapat dijatuhi hukuman dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta. Artinya, keputusan camat bisa berimplikasi hukum.
Keterbukaan informasi adalah hak publik. Jika sebuah rapat mediasi yang menyangkut dugaan korupsi Dana Desa justru dibuat eksklusif dan tertutup, maka pertanyaan besar muncul Apa yang sedang dijaga? Siapa yang sedang dilindungi? Semakin kuat upaya menutup akses, semakin besar kecurigaan bahwa ada sesuatu yang tak ingin diketahui oleh masyarakat.
Sikap camat ini justru membuat publik semakin bertanya-tanya. Apakah ini upaya melindungi seseorang? Apakah ada negosiasi diam-diam yang tidak boleh bocor ke ranah publik? Atau mungkinkah ini bagian dari strategi agar kasus ini tenggelam tanpa kejelasan? Apapun alasannya, tindakan tersebut berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa.
Kasus ini kini menjadi perbincangan hangat. Apa yang seharusnya menjadi forum keterbukaan malah berubah menjadi ajang eksklusif yang hanya boleh diketahui oleh segelintir orang. Masyarakat berhak mendapatkan jawaban: mengapa media dilarang meliput? Jika memang tak ada yang salah, mengapa transparansi harus dikorbankan.
Satu hal yang pasti, kebenaran tak bisa ditutupi selamanya. Semakin banyak yang mencoba menutupinya, semakin besar rasa penasaran publik untuk menggali lebih dalam. Apakah ini awal dari terbongkarnya sesuatu yang lebih besar? Masyarakat kini menunggu, dan sejarah mencatat: setiap kebenaran yang dikubur pasti akan bangkit ke permukaan.
Sumber : Roni / JN
Penulis : Rahmad Maulana