![]() |
MINYAKITA KETIKA 1 LITER HANYA ILUSI RAKYAT TERJEBAK DI REALITY SHOW EKONOMI |
Pontianak,DETIKREPUBLIK.COM - Kalimantan Barat Jika hidup di Indonesia adalah sebuah film, maka ini bukan lagi drama keluarga atau thriller politik. Ini adalah reality show bertahan hidup, di mana rakyat dipaksa bermain tanpa bisa memilih keluar. Episode terbaru? "Minyakita: Ketika 1 Liter Itu Hanya Angka di Label."
Sebuah keajaiban terjadi di pasar tradisional: Minyakita yang seharusnya 1 liter, tiba-tiba cuma 750-800 ml. Tidak ada pengumuman, tidak ada peringatan. Apakah ini kebijakan senyap? Atau eksperimen sains ilegal? Yang jelas, rakyat tidak diberi pilihan selain menerimanya. Dan sebagai plot twist tambahan, harga yang seharusnya Rp 15.700 per liter justru melompat ke Rp 18.000. Minyaknya makin sedikit, tapi dompet makin terkuras.
Kemarahan pun membara di media sosial. Twitter (X) penuh sumpah serapah, TikTok dibanjiri video satire, dan grup WhatsApp keluarga mulai ramai dengan pesan "Negara Ini Gimana Sih?" Tapi seperti biasa, kemarahan ini punya masa kedaluwarsa. Hari ini heboh, besok tetap antre beli. Karena bagaimana pun, hidup tanpa gorengan lebih menyakitkan daripada harga minyak yang tak masuk akal.
Di tengah kehebohan ini, pemerintah pun memainkan peran klasiknya: Menteri Pertanian langsung turun ke lapangan, Satgas Pangan bergerak, Bareskrim Polri ikut menyelidiki. Konferensi pers digelar dengan janji "Kami akan menindak tegas!" Tapi kita semua tahu alur cerita ini. Hari ini ramai, besok perlahan meredup, lusa hilang ditelan isu lain. Minyakita hanya satu dari banyak skandal yang akan dilupakan seiring berjalannya waktu.
Kita sudah melihat episode ini sebelumnya. Dulu ada pertamax oplosan, LPG 3 kg yang tiba-tiba langka, dan harga beras yang melonjak drastis. Awalnya rakyat marah, pemerintah bertindak, media meliput, lalu... semua tenggelam. Masalahnya bukan hanya soal minyak, tapi siklus kebijakan yang terus berulang. Kita terjebak dalam film tanpa akhir, di mana plotnya selalu sama—hanya aktornya yang berganti.
Yang paling ironis? Kita bukan sekadar penonton, kita adalah korban. Kita tahu ada yang salah, kita sadar ada yang bermain di balik layar. Tapi apa daya? Dapur tetap harus mengepul, gorengan tetap harus ada, dan dompet tetap harus rela kehilangan lebih banyak.
Dan jangan kira ini adalah babak terakhir. Negeri Oplosan selalu punya sekuel. Hari ini Minyakita yang menyusut, besok mungkin beras yang tiba-tiba menguap, gula yang terasa lebih hambar, atau kopi yang volumenya menyusut separuh. Kita hanya bisa menunggu, sambil menikmati gorengan yang perlahan-lahan berubah menjadi barang mewah.
Selamat datang di Indonesia. Di sini, bukan cuma minyak yang menghilang, tapi juga harapan.
Editor : Rahmad Maulana