![]() |
Tragedi di Ruang Bersalin: Ketika Panik, Keputusan Keliru, dan Waktu yang Tak Berpihak |
Pontianak,DETIKREPUBLIK.COM- Kalbar – Malam itu, Edo Simbolon bergegas membawa istrinya, Mery Lestary (40), ke Klinik Bersalin Utin Mulia. Ia berpacu dengan waktu, berharap segera menyambut kelahiran buah hati mereka. Namun, siapa sangka, kebahagiaan yang seharusnya menyapa justru berubah menjadi episode kelam—sebuah tragedi yang menyisakan luka dan pertanyaan tanpa jawaban.
Detik-Detik Kritis: Antara Harapan dan Kepanikan
Ditemani pengemudi ojek online Maxim, Edo tiba di klinik dalam keadaan panik. Mery sudah berada di ambang persalinan. Tapi alih-alih disambut oleh tim medis yang siap siaga, di sana hanya ada seorang bidan bernama VN. Tak ada dokter. Tak ada perawat.
Melihat kondisi Mery, VN sempat bertanya, “Mau dirujuk ke rumah sakit mana, Pak?” Sebuah pertanyaan yang seharusnya diiringi dengan tindakan cepat. Namun, di tengah kepanikan, jawaban Edo tak kunjung keluar. Detik-detik berlalu, dan di saat itulah takdir mulai mengambil jalannya sendiri.
Ketika Keputusan Menjadi Bencana
Mery mengalami persalinan sungsang—situasi berisiko tinggi yang seharusnya ditangani dengan peralatan dan keahlian khusus. Tapi malam itu, hanya ada seorang bidan yang tampak bimbang. Meski sempat ragu, VN tetap melanjutkan persalinan.
Kemudian, horor pun dimulai.
Darah mengalir. Kaki bayi keluar lebih dulu, tapi kepalanya tersangkut. Edo yang menyaksikan langsung tubuhnya melemas. Di hadapannya, VN terlihat semakin panik. Dalam kebingungan, ia mengambil keputusan yang mengejutkan: bayi yang sudah separuh lahir dibungkus dengan kain. Mery yang masih dalam proses persalinan didorong ke luar klinik menggunakan kursi roda. Tujuan mereka? Sebuah mobil Maxim.
Dalam kondisi genting, tanpa alat bantu, tanpa dokter, mereka menuju RS Antonius. Namun, takdir berkata lain.
Terlambat, Terlalu Lama, Terlalu Tragis
Pukul 02.00 WIB, Mery tiba di RS Antonius. Tim medis segera bergerak. Bayi akhirnya berhasil dikeluarkan. Tapi segalanya sudah terlambat—ia tak lagi bernyawa.
Dokter berinisial PJ yang menangani kasus ini menyatakan bayi meninggal akibat kekurangan oksigen terlalu lama akibat tersangkut di mulut rahim. Sebuah kematian yang mungkin bisa dicegah, seandainya rujukan dilakukan lebih cepat.
Kesaksian yang Berbeda: Salah Siapa?
Bidan VN bersikeras bahwa ia telah melakukan yang terbaik. Namun, pihak RS Antonius punya pendapat lain. Menurut mereka, jika saja keputusan diambil lebih cepat, nyawa bayi mungkin masih bisa diselamatkan.
Mulyadi MS, Sekretaris Lembaga Perlindungan Konsumen Kalimantan Barat, menegaskan bahwa dalam kondisi darurat, tindakan harus segera diambil sesuai prosedur medis. “Tak ada ruang untuk keraguan dalam dunia persalinan. Kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pada kehilangan nyawa,” ujarnya.
Duka yang Tak Terjawab
Kini, Edo dan Mery hanya bisa menangisi kepergian bayi mereka. Mereka pasrah, tapi di balik kepasrahan itu, ada amarah dan pertanyaan: apakah ini murni takdir? Atau ada kesalahan yang seharusnya tidak terjadi?
Yang pasti, malam itu, waktu tidak berpihak pada mereka. Dan ketika waktu tak berpihak, hidup yang seharusnya dimulai justru berakhir sebelum sempat bernafas.
Sumber : Asidot Jamat Tua/ Edo Simbolon.
Editor : Rahmad Maulana