![]() |
Edisi Khusus – Bengkayang, Wilayah Otonom Tambang Liar |
DETIKREPUBLIK.COM - Selamat datang di Bengkayang, negeri miniatur di mana tambang ilegal bukan kejahatan—melainkan budaya. Di sini, penambang liar berinisial MN bukan buronan, tapi ikon lokal. Warga mengenalnya lebih akrab daripada kepala desa, mungkin karena dompengnya lebih rajin daripada petugas.
MN bukan manusia biasa. Ia adalah koreografer tanah—menggali, menyedot, dan menyulap alam menjadi kas bon. Lokasi aksinya? Hanya sejengkal dari markas aparat. Tapi aneh, tak terdengar sirine, hanya dentuman mesin dan tawa solar bersubsidi yang berubah jadi emas.
Berdasarkan investigasi visual (alias cukup lihat pakai mata), alat berat menari setiap hari di belakang SMPN 1 Bengkayang. Anak-anak belajar PPKn, sementara di belakang sekolah, hukum diajarkan dalam versi yang berbeda: pasal adalah syarat, bukan keharusan.
Sementara itu, UU No. 3 Tahun 2020 hanya menjadi legenda urban. Ia eksis di ruang rapat dan seminar, tapi menghilang ketika dibutuhkan. Ancaman hukuman lima tahun? Hanya mitos yang dituturkan kepada wartawan, bukan dituliskan di BAP.
Hukum di sini bukan sedang tidur. Ia sedang bermeditasi di puncak diam, ditemani kopi hitam dan mungkin sebatang rokok legal yang dibeli dari hasil ilegal. Penegakan? Oh, itu barang mahal. Lebih mahal dari harga emas per gram.
Warga pun sudah tak kaget. Mereka tahu, sistem lebih lihai dari pelaku. Karena dalam republik PETI ini, semua bisa diatur: dari dompeng, solar, sampai mulut para saksi. Dan ketika publik mulai bertanya, jawabannya selalu sama: “Masih dalam proses.
MN terus menggali. Tapi bukan karena ia kebal, melainkan karena ia tahu satu rahasia: keberanian bisa dibeli, dan ketegasan bisa ditunda. Ia bukan penjahat super, ia hanya pengusaha yang tahu betul kapan hukum sedang sibuk selfie untuk citra.
Kami menulis ini sebagai arsip masa depan. Jika kelak anak cucu bertanya, "Mengapa sungai kita keruh dan hutan kita botak?" maka jawablah dengan jujur: "Karena dulu hukum tidak datang, ia hanya mengamati dari kejauhan.
Dan jika hukum terus memilih diam, jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka memutuskan untuk bersuara—bukan dengan kata, tapi dengan gemuruh dari perut bumi yang tak bisa lagi ditahan.
Editor : Rahmad Maulana