Semu’a Sungai yang Membisikkan Kematian Perlahan -->
Selasa, 8 April 2025
KAKI Sebut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Salah Pilih Kapolda Jatim Irjenpol Nanang Avianto No Welcome Blas | Polsek Pinang Tangkap Penjual Obat Keras Tanpa Izin di Tangerang | Semu’a Sungai yang Membisikkan Kematian Perlahan | Miris ! Infrastruktur Jalan Desa Nepa di Duga Asal di Kerjakan, Inspektorat Sampang Bungkam | PETI Merajalela Hukum Nongkrong di Warung Sebelah | MARAK PENJUALAN OBAT TERLARANG DI SUKARAJA, WARGA PERTANYAKAN KETEGASAN APARAT | Diduga Kepala Sekolah SMA Negeri 1 TanjungAnom kong kalikong Dengan Komite Sekolah lakukan pungli | Dugaan Nepotisme Menggemparkan Desa Saenama, Kades dan Keluarga Terlibat dalam Beragam Peran | DAFTAR PENERIMA DANA DESA DI KECAMATAN CISURUPAN, KABUPATEN GARUT TAHUN 2025 | Diduga Oknum Kapolsek Sukanagara Abaikan Konfirmasi Wartawan Terkait Mafia BBM Berjarak 300m Dari Kantor polsek | Kontroversi Pemecatan 14 Perangkat Desa di Saenama Menimbulkan Polemik di Masyarakat | Kunjungan Ketua Iwoi Bersama Rekan Rekan Media dan Lembaga KANNI, Beri Dukungan Bagi Keluarga Wartawan Tribuncakranews Yang di Stopress Secara Sepihak dan diTahan di Polres Cilacap. | Pak Sudiat menduga bahwa kendaraan tersebut telah digelapkan oleh Kartiman | RESES YULIANSYAH Menyerap Aspirasi Warga Di Jalan Kesehatan Pontianak | Oknum TNI Aktif diduga Membekingi PT. Citra Tritunas Perkasa di Batam Dalam Kasus Sengketa Lagan

Iklan Semua Halaman


Semu’a Sungai yang Membisikkan Kematian Perlahan

Rahmad Maulana
Saturday, 5 April 2025


Bengkayang,DETIKREPUBLIK.COM - Kalimantan Barat — Pernah dengar cerita tentang sungai yang mati... tapi tak dikuburkan? Sungai Semu’a tak pernah diselimuti kain kafan, tapi seluruh alam tahu: ia tak lagi hidup. Ia masih berkelok di peta, tapi di dunia nyata, ia hanya goresan luka di tubuh Borneo yang makin renta.


Dulu, Semu’a seperti ibu—mengalir lembut, memeluk kaki anak-anak yang bermain di tepian, menyuapi ikan kepada pemancing sabar, dan menyanyikan lagu rimba setiap pagi. Kini, ia seperti hantu: ada, tapi tak hadir. Hidup, tapi tak bernyawa. Sungai itu kini jadi kolam duka. Lumpur menutup dasar yang dulu jernih. Bau logam menggantikan aroma tanah basah. Airnya menghitam, bukan karena malam, tapi karena rakus manusia yang menambang emas dengan tangan tak bersertifikat dan nurani yang hilang arah.


Ironisnya, Semu’a pernah jadi ‘anak emas’ pemerintah. Tahun 2017, Rp450 juta digelontorkan. Katanya, untuk menyelamatkan. Tapi yang terjadi: uang mengalir, sungai tetap mengering. Sungai butuh kasih, bukan hanya anggaran. Butuh penjagaan, bukan sekadar program.


Kini Semu’a tak lagi bersuara. Tapi mesin tambang? Mereka menyanyi keras—siang dan malam—tentang kekayaan yang bisa ditukar dengan masa depan yang dibakar. Sementara aparat… entah lupa, entah pura-pura buta. PETI bukan siluman, ia punya suara dan bau. Tapi ia dibiarkan tumbuh, seperti kanker yang dianggap tahi lalat.



“Sudah mati, bang,” ucap seorang warga, tak dengan amarah, tapi dengan kesunyian yang lebih menusuk dari teriakan. Masyarakat tidak lagi menunggu solusi. Mereka hanya berharap Semu’a tidak dilupakan seperti berita basi di pojok halaman terakhir.


Anak-anak di desa kini belajar arti sungai lewat buku, bukan dari riak air. Mereka tumbuh mengenal air dari botol kemasan, bukan dari aliran di belakang rumah. Dan barangkali, itu yang paling tragis: ketika alam hanya jadi bab dalam pelajaran IPA, bukan bagian dari hidup sehari-hari.


Semu’a telah berubah. Dari ibu jadi arwah. Dari kehidupan jadi pelajaran pahit: bahwa terkadang, yang membunuh bukan bencana alam, tapi diamnya manusia. Dan pelajaran ini, sayangnya, tak masuk kurikulum.


Sebelum sungai-sungai lain menyusul nasib Semu’a, kita harus bertanya: sampai kapan kita akan pura-pura tuli, sementara bumi terus menangis. 


Editor  :Rahmad Maulana