Bengkayang,DETIKREPUBLIK.COM - Kalimantan Barat — Pernah dengar cerita tentang sungai yang mati... tapi tak dikuburkan? Sungai Semu’a tak pernah diselimuti kain kafan, tapi seluruh alam tahu: ia tak lagi hidup. Ia masih berkelok di peta, tapi di dunia nyata, ia hanya goresan luka di tubuh Borneo yang makin renta.
Dulu, Semu’a seperti ibu—mengalir lembut, memeluk kaki anak-anak yang bermain di tepian, menyuapi ikan kepada pemancing sabar, dan menyanyikan lagu rimba setiap pagi. Kini, ia seperti hantu: ada, tapi tak hadir. Hidup, tapi tak bernyawa. Sungai itu kini jadi kolam duka. Lumpur menutup dasar yang dulu jernih. Bau logam menggantikan aroma tanah basah. Airnya menghitam, bukan karena malam, tapi karena rakus manusia yang menambang emas dengan tangan tak bersertifikat dan nurani yang hilang arah.
Ironisnya, Semu’a pernah jadi ‘anak emas’ pemerintah. Tahun 2017, Rp450 juta digelontorkan. Katanya, untuk menyelamatkan. Tapi yang terjadi: uang mengalir, sungai tetap mengering. Sungai butuh kasih, bukan hanya anggaran. Butuh penjagaan, bukan sekadar program.
Kini Semu’a tak lagi bersuara. Tapi mesin tambang? Mereka menyanyi keras—siang dan malam—tentang kekayaan yang bisa ditukar dengan masa depan yang dibakar. Sementara aparat… entah lupa, entah pura-pura buta. PETI bukan siluman, ia punya suara dan bau. Tapi ia dibiarkan tumbuh, seperti kanker yang dianggap tahi lalat.
“Sudah mati, bang,” ucap seorang warga, tak dengan amarah, tapi dengan kesunyian yang lebih menusuk dari teriakan. Masyarakat tidak lagi menunggu solusi. Mereka hanya berharap Semu’a tidak dilupakan seperti berita basi di pojok halaman terakhir.
Anak-anak di desa kini belajar arti sungai lewat buku, bukan dari riak air. Mereka tumbuh mengenal air dari botol kemasan, bukan dari aliran di belakang rumah. Dan barangkali, itu yang paling tragis: ketika alam hanya jadi bab dalam pelajaran IPA, bukan bagian dari hidup sehari-hari.
Semu’a telah berubah. Dari ibu jadi arwah. Dari kehidupan jadi pelajaran pahit: bahwa terkadang, yang membunuh bukan bencana alam, tapi diamnya manusia. Dan pelajaran ini, sayangnya, tak masuk kurikulum.
Sebelum sungai-sungai lain menyusul nasib Semu’a, kita harus bertanya: sampai kapan kita akan pura-pura tuli, sementara bumi terus menangis.
Editor :Rahmad Maulana